40 Burung Perkici Dada Merah Asal Bali Dipulangkan dari Inggris, Upaya Selamatkan Satwa Dilindungi

Arazone

Kutabalinews.com, Denpasar – Sebanyak 40 ekor burung Perkici Dada Merah subspesies Bali (Trichoglossus forsteni mitchlli) akhirnya kembali ke tanah air setelah menjalani masa konservasi di Inggris. Repatriasi ini dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, bekerja sama dengan lembaga internasional World Parrot Trust, sebagai bagian dari langkah nyata pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Burung langka tersebut kini sedang menjalani masa rehabilitasi dan adaptasi sebelum dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya.

Langkah pemulangan satwa dilindungi ini bukan hanya menjadi simbol keberhasilan konservasi, tetapi juga mencerminkan komitmen Indonesia dalam menindaklanjuti kerja sama global melawan perdagangan ilegal satwa liar. Satwa eksotik yang pernah nyaris punah di alam liar Bali ini kini berpeluang kembali mengisi ekosistemnya berkat dukungan dari berbagai pihak, baik nasional maupun internasional.

Upaya penyelamatan burung Perkici Dada Merah juga menjadi respons terhadap kepunahan lokal di wilayah Tabanan, Bali, tempat burung ini pernah menjadi bagian penting dari biodiversitas hutan Batukaru. Informasi dari masyarakat setempat turut memperkuat identifikasi bahwa burung yang dahulu dikenal sebagai Atat Bali adalah Perkici Dada Merah yang kini berhasil direpatriasi.

Kerja Sama Internasional Selamatkan Perkici Dada Merah Bali

Kepala BKSDA Bali, Ratna Hendratmoko, menyampaikan bahwa 40 ekor burung Perkici Dada Merah tersebut sebelumnya dirawat di Paradise Park, sebuah suaka margasatwa di Inggris. Repatriasi ini difasilitasi oleh World Parrot Trust, organisasi nirlaba internasional yang bergerak di bidang konservasi burung paruh bengkok.

“Ini bukan hanya tentang membawa pulang satwa ke habitat asalnya, tetapi juga tentang memperkuat kerja sama internasional dalam konservasi dan penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal satwa liar,” jelas Hendratmoko, Kamis (24/7/2025).

Saat ini, burung-burung tersebut ditempatkan di dua lembaga konservasi di Bali, yaitu PT. Taman Burung Citra Bali dan PT. Taman Safari Indonesia III, masing-masing menerima 20 ekor. Selama masa pemulihan, mereka menjalani proses rehabilitasi, adaptasi, dan program pengembangbiakan (breeding) sebagai tahapan menuju pelepasliaran ke alam.

Status Perlindungan dan Ancaman terhadap Populasi

Perkici Dada Merah merupakan satwa liar yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta telah diperkuat oleh UU Nomor 32 Tahun 2024. Selain itu, spesies ini masuk dalam kategori Endangered (EN) menurut daftar IUCN, dan tercantum sebagai satwa dilindungi dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.

Menurut Hendratmoko, perlindungan terhadap spesies ini sangat krusial mengingat populasinya yang terus terancam akibat perdagangan ilegal dan kerusakan habitat alami.

“Kegiatan repatriasi ini menjadi bagian dari implementasi komitmen Indonesia dalam menjaga keberlanjutan keanekaragaman hayati, serta merespons positif dukungan internasional dalam mencegah perdagangan ilegal satwa liar,” tambahnya.
Upaya Konservasi Lokal: Dari Survei hingga Repatriasi

PT. Taman Burung Citra Bali International menjadi pelopor proses repatriasi ini sejak tahun 2022. Tahapan awal dilakukan melalui survei di kawasan hutan Batukaru, Kabupaten Tabanan, Bali, guna mengidentifikasi potensi habitat yang masih memungkinkan untuk mendukung kehidupan burung tersebut.

Dari hasil survei serta keterangan masyarakat sekitar, diketahui bahwa burung lokal yang dahulu disebut Atat Bali kini sudah sangat jarang terlihat. Proses pengembangan data, termasuk komunikasi dengan kebun binatang di luar negeri, menguatkan dugaan bahwa Atat Bali merupakan burung Perkici Dada Merah.

Burung ini dikenal berasal dari kawasan timur Indonesia dan sebagian Australia, namun peredarannya banyak digunakan dalam perdagangan ilegal satwa eksotik, sehingga menjadi fokus perhatian lembaga konservasi internasional.

Repatriasi atau pemulangan satwa liar seperti ini memiliki tantangan tersendiri, terutama dalam hal adaptasi terhadap lingkungan baru yang sebenarnya adalah habitat asal mereka. Selain memerlukan proses karantina dan rehabilitasi yang ketat, keberhasilan program ini sangat bergantung pada dukungan ekosistem yang masih alami dan aman dari gangguan manusia.

Selain berdampak pada pemulihan ekosistem, pengembalian satwa liar ke habitat alaminya juga memberikan nilai edukatif bagi masyarakat. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran publik terhadap pentingnya melindungi spesies langka dan melaporkan kegiatan perdagangan ilegal kepada pihak berwenang. (*)

Share This Article
Tinggalkan komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version