Kutabalinews.com, Makassar – Keberadaan grup Facebook bertajuk Makassar Gay tengah menyedot perhatian publik usai viral di berbagai platform media sosial. Tangkapan layar dari grup yang disebut-sebut beranggotakan puluhan ribu orang itu pertama kali tersebar melalui unggahan akun Instagram @makassar.keras.
Sejak saat itu, diskusi panas pun muncul di ruang digital, melibatkan berbagai kalangan mulai dari masyarakat umum hingga tokoh agama dan aparat penegak hukum.
Fenomena ini menjadi perhatian serius aparat, terutama karena menyangkut potensi pelanggaran hukum di ruang siber. Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Makassar langsung membentuk tim khusus untuk menindaklanjuti laporan dan menyelidiki lebih dalam aktivitas di dalam grup tersebut.
Dalam pernyataannya, Kapolrestabes Makassar, Kombes Pol Arya Perdana menegaskan bahwa proses investigasi akan berjalan secara profesional dan bertanggung jawab.
“Kami tidak mau bertindak gegabah. Penyelidikan dilakukan secara profesional guna memastikan apakah ada unsur pelanggaran hukum, terutama terkait konten bermuatan pornografi atau penyebaran informasi negatif,” ujar Arya Perdana pada Senin, 21 Juli 2025.
Polisi Libatkan Tim Cyber Polda Sulsel untuk Penelusuran Digital
Untuk mendalami kasus ini secara menyeluruh, Polrestabes Makassar juga melibatkan Tim Cyber dari Polda Sulawesi Selatan. Tim tersebut difokuskan untuk menelusuri aktivitas mencurigakan, memetakan pola interaksi dalam grup, serta mengidentifikasi akun-akun yang berpotensi melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Upaya ini menandai pendekatan hukum yang lebih komprehensif di era digital, di mana penyelidikan tidak hanya dilakukan melalui tindakan langsung, tetapi juga lewat analisis digital forensik yang sistematis.
Respons Tokoh Agama: Fokus pada Edukasi dan Dakwah
Tidak hanya aparat kepolisian, keberadaan grup tersebut juga memantik respons dari tokoh agama. Ketua Muhammadiyah Makassar, KH Muhammad Said Abdul Samad, mengimbau agar penanganan kasus ini tidak melulu mengedepankan sanksi atau tindakan hukum semata. Ia menekankan pentingnya pendekatan dakwah dan edukasi yang mengedepankan nilai-nilai kebijaksanaan.
“Penting bagi kita untuk tidak hanya fokus pada sanksi. Memberikan edukasi dan pencerahan kepada masyarakat harus menjadi bagian dari solusi yang lebih menyeluruh,” ujarnya.
KH Said juga mengajak organisasi keagamaan besar seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah untuk bersama-sama memberikan perhatian atas fenomena sosial yang berkembang di ruang digital ini. Ia menilai sinergi antar lembaga keagamaan dan pemerintah daerah perlu diperkuat untuk mencegah dampak negatif di masyarakat.
Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, turut diminta untuk merespons isu ini secara menyeluruh, bukan dengan reaksi sesaat. Langkah strategis yang mencakup edukasi, sosialisasi, dan perlindungan anak dan remaja di ruang digital dinilai lebih efektif untuk jangka panjang.
Kasus Serupa Juga Muncul di Balikpapan dan Kalimantan Timur
Ternyata, keberadaan grup daring bertema serupa juga ditemukan di sejumlah daerah lain. Di Balikpapan, Kalimantan Timur, akun Instagram @balikpapances_ mengunggah tangkapan layar dari grup bernama Grup Gay Balikpapan, yang memuat percakapan berisi konten dewasa.
Seorang pengguna Facebook yang pertama kali mengungkap keberadaan grup tersebut menyampaikan keprihatinannya. Ia menyoroti betapa mudahnya akses terhadap konten tidak pantas, termasuk oleh kalangan remaja yang tergolong rentan terhadap pengaruh buruk dari internet.
“Kalau ini terus dibiarkan, bisa berdampak buruk pada generasi muda. Masalahnya bukan siapa yang disalahkan, tapi bagaimana agar ruang digital tidak menjadi liar dan bebas tanpa batas,” tulis seorang pengguna di kolom komentar.
Fenomena kemunculan grup-grup semacam ini mencerminkan tantangan nyata dalam menjaga ruang digital yang aman dan sehat. Meski media sosial menawarkan kebebasan berekspresi, tetap ada batasan hukum dan etika yang harus dihormati semua pengguna.
Pendekatan represif melalui hukum tetap penting, namun tanpa peran edukasi, pengawasan, dan kesadaran kolektif, penanganan semacam ini akan menjadi reaktif dan tidak menyelesaikan akar permasalahan.
Keterlibatan aktif tokoh masyarakat, pemuka agama, institusi pendidikan, dan otoritas pemerintahan menjadi kunci dalam membentuk ekosistem digital yang lebih bertanggung jawab. Penyusunan kebijakan baru, literasi digital, serta pemantauan konten perlu ditingkatkan sebagai langkah strategis jangka panjang. (*)